Keroncong Riwayatmu Kini by Agus Bing

edaan cara pandang terhadap masalah kroncong. Di satu sisi, hanya dipahami sebatas orijinalitasnya yang menurut banyak pihak belum tentu benar. Kubu ini menyatakan, apa yang dikatakan "asli" sebenarnya tidak lebih hanya sekadar perkembangan dari yang sudah ada. Akibatnya, ketika nasib kroncong terpuruk maka tidak dipikirkan bagaimana langkah-langkah pengembangannya.

Tapi sebaliknya, bilamana ada pihak-pihak yang ingin memajukan kroncong lewat penciptaan karya-karya yang progresif, serta merta dituding hanya ingin merusak tradisinya. Pada akhirnya hal ini menyebabkan ketegangan dialektis yang berdampak pada matinya daya kreativitas seniman kroncong, khususnya yang memiliki visi ke depan. "Karena setiap ingin merefleksikan gagasan musikalitasnya," kata Marco Marnadi (penggagas Congrok) "selalu akan mendapat protes dari sesepuh kroncong yang teguh mememgang aturan."


Salah satu penggiat musik kroncong dari Yogyakarta Singgih Sanjaya, mengakui adanya ketegangan tersebut. Terutama tentang pemahaman "asli" dan "tidak asli" di dalam kroncong. Padahal, persoalan kroncong saat ini bukan terkait hal tersebut, namun lebih pada kondisi kroncong yang ibaratnya sudah menggali lubang kuburnya sendiri. Karena menurutnya, kroncong kini hanya diuri-uri dan dipelihara namun tidak dikembangkan, sehingga lambat laun pasti akan mati.

Apa yang disampaikan penggagas Light Kroncong Orcestra yang juga pernah dikritik habis-habisan karena eksperimentasi yang dianggitnya itu. Pendapat Singgih perlu dicermati. Karena, seturutnya, cara pandang yang cenderung konservatif itu akan mempengaruhi aspek-aspek lain yang sebenarnya punya andil besar terhadap masa depan kroncong. Misalnya: Lembaga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Lembaga Dewan Kesenian, lembaga penyiaran dan perekaman maupun lembaga-lembaga lain yang, baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan seni budaya. Bukankah melalui lembaga-lembaga itu kroncong diharapakan bisa mengembangkan eksistensinya? Misalnya, dipromosikan untuk kepentingan pariwisata oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Atau dilakukan perekaman-perekaman dan sosialisasi lewat penyiaran, baik melalui media tv maupun radio, di mana pada era 1970-an hingga 1990-an kejayaan kroncong terlihat nyata dengan dibukanya ajang kompetisi Bintang Radio dan Televisi (BRTV). Hal ini menandakan bila peran lembaga-lembaga tersebut strategis dijadikan media menghidupkan kembali masa depan musik kroncong.


Tapi kini, ketika kroncong masih berkutat pada perdebatan mengenai nilai-nilai estetika kroncong "asli" dan "tidak asli", seluruh elemen-elemen yang pernah terlibat membesarkan musik ini pun seperti menutup mata. Dan kroncong menjadi stagnan, dalam artian tidak ada karya-karya baru yang dilahirkan. Hanya lagu-lagu lama yang diaransemen ulang. Jagat kroncong pun juga tidak mampu lagi menciptakan tokoh, artis, maupun legenda setara Kusbini, Waljinah, Gesang, Anjarani, Toto Salmon, Sundari Sukoco, Mamik Slamet, Mus Muyadi, dan lain-lainnya.

www.etno-usu.co.cc

Bookmark and Share

Posted in Label: |

0 komentar: